Praktik pendidikan di berbagai lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) masih diwarnai pembelajaran calistung yang bersifat hafalan. Hal ini keliru, karena anak akan sulit memahami makna bacaan ketika masuk sekolah.
“Banyak praktik di PAUD, demi mengejar kemampuan baca-tulis-hitung (calistung), guru sering menggunakan teknik hafalan dan latihan yang mengandalkan kemampuan kognitif, abstrak dan tidak terkait langsung dengan kehidupan anak. Akibatnya, kepentingan anak terkalahkan oleh tugas-tugas skolastik yang semestinya belum saatnya,” tegas Kepala Subdirektorat Program dan Evaluasi Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini, Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (PAUDNI) Sukiman, Sabtu (28/1).
Fenomena seperti ini, jelas Sukiman, sangat keliru. Hal ini akan membuat anak sulit memahami sesuatu, misalnya bacaan, ketika memasuki tahapan perkembangan selanjutnya.
“Anak tidak boleh dijejali materi atau hal-hal yang memberatkan perkembangan serabut otaknya. Kalau dipaksa dijejali dengan hal-hal yang berat, seperti menghafal, membaca, apalagi berhitung itu akan mematikan serabut-serabut otak atau sinap-sinap otaknya. Kalau sudah perkembangan otaknya terganggu anak akan tidak kreatif dan berdampak buruk pada anak,” tegas Sukiman.
Mantan Ketua Tim Pengembang Program Penguatan PAUD Berbasis Keluarga Ditjen PAUDNI ini juga menyatakan metode pengajaran yang menekankan hafalan itu melanggar hak anak.
Masa anak adalah masa bermain, dan bermain menumbuhkan kreativitas. Pembelajaran pada jenjang PAUD seharusnya mengacu pada praktik pendidikan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak. (Mulya/Humpeg)
0 komentar:
Posting Komentar