Ditemukan oleh Ditbinsuslat, sejumlah lembaga memiliki NILEK dan Nomor Induk Lembaga Masyarakat (NILEM) secara bersamaan. Hal ini mengakibatkan ketidakakuratan data karena memunculkan penghitungan ganda. Satu lembaga akan didata sebagai dua lembaga, yaitu sebagai lembaga kursus dan juga sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM).
Terkait hal ini, Kahar meminta pemerintah daerah untuk mengarahkan lembaga-lembaga tersebut dalam mengambil sikap.
“Jika ingin memakai NILEM, tidak usah menggunakan NILEK. Karena PKBM pun sebenarnya bisa mengakses bantuan kursus,” katanya.
Selain itu, ada lembaga-lembaga yang tidak berizin tapi memiliki NILEK. Hal ini bisa terjadi karena saat mengajukan NILEK, lembaga kursus tersebut melampirkan surat keterangan proses perizinan. “Masalahnya, ketika NILEK sudah dapat, proses perizinan tidak dilanjutkan,” kata Kahar.
Ditbinsuslat juga menemukan beberapa lembaga yang telah memiliki NILEK, tetapi saat dikunjungi tidak dapat ditemukan keberadaannya. Diduga, pendirian lembaga kursus tersebut hanya untuk mengakses bantuan dari pemerintah. Oleh karena itu, saat mereka tidak mendapatkan bantuan, lembaga tersebut akan mati.
Kahar menyayangkan pendirian lembaga seperti itu. Menurutnya, lembaga yang baik adalah yang berbasis masyarakat. “Lembaga berbasis masyarakat akan lebih langgeng tanpa tergantung bantuan pemerintah,” ujarnya.
Diakui Kahar, selama ini kerap terjadi salah kaprah mengenai NILEK. Kepemilikan NILEK dinilai hanya sebagai alat pengajuan bantuan. Padahal kepemilikan NILEK adalah suatu kebutuhan lembaga. Tanpa NILEK, lembaga kursus tidak dapat berakreditasi, tidak dapat menjadi tempat uji kompetensi, dan tidak berhak menerbitkan sertifikat kompetensi. (Dina/Humpeg)
0 komentar:
Posting Komentar